Sabtu, 26 November 2011

KEPEDIHAN HATI KITA, ANAK KUTACANE


 Jalan Medan-Kutacane di kawasan Lau Baleng setelah perbaikan ringan (2010)

Tulisan ini ditulis pada tahun 2009 dan sudah dipublikasikan sebelumnya di grup Kutacane Aceh Tenggara, sebuah grup di facebook.

Tahun 1982. Sebelum azan subuh kami menanti tibanya bus yang akan membawa kami menuju Pematang Siantar. Satu jam kemudian bus yang dinanti tiba, kami naik. Bagi seorang bocah, bus itu sangatlah besar. Bus itu berbadan kaleng dengan moncong di depannya. Di dinding bus itu tertulis GARUDA (seperti nama pesawat ya). Ah, alangkah bahagianya bisa masuk ke lambung bus itu. Ia bergerak perlahan, merayap. Pelan-pelan meninggalkan Kutacane yang masih senyap dan berudara segar. Bambel, Kuning, Lawe Dua, Simpang Semadam, Lawe Sigalagala, Lawe Desky, Lawe Pakam ia lewati. Setelah mengarungi jalan sempit, rusak dan berliku, sebelas jam kemudian bus itu pun masuk ke terminal Perluasan, Pematang Siantar.

Tahun 1987. Sebuah bus bergerak dari Medan menuju Kutacane. Penumpangnya padat. Penumpang sebagian duduk pada seat 2-3, semua kursi terisi. Sebagian berdiri di lorong bus, sebagian lagi bahkan sampai ada yang harus naik ke atap bus yang juga berfungsi sebagai tempat barang. Barang-barang yang dibawa pun cukup banyak yang ditutupi dengan terpal warna coklat. Di tanjakan dekat Brastagi hampir saja bus itu tidak sanggup mendaki, bannya berasap, ketika jalanan menurun bau tapak rem membuat semua penumpang mual. Selepas Kabanjahe jalan yang dilalui bergelombang, aspal pecah-pecah, hancur! Bus oleng ke kiri dan ke kanan. Tertatih-tatih, akhirnya tiba di Tigabinanga. Perjalanan selanjutnya bukan semakin menyenangkan. Di Kutabuluh debu beterbangan masuk ke hidung para penumpang. Banyak yang muntah-muntah hingga muntahannya tertumpah ke lantai bus. Bau. Apa boleh buat, orang-orang Tanah Alas dan Gayo Lues tidak punya pilihan lain. Lau Baleng pun dilewati, para penumpang tetap sabar menanti bus tiba di Kutacane, kota mungil yang menyimpan kenangan tak terhingga bagi para penumpang yang sebagiannya adalah para perantau yang hendak menjenguk sanak keluarga dan sahabatnya. Delapan jam dalam perjalanan sampailah bus itu di Kutacane. Wellcome to Cane City, my Brother!

Tahun 1999. Perjalanan ke Kutacane masih saja tidak menyenangkan. Kali ini ruas jalan ini kami lalui menggunakan mini bus yang penumpangnya disusun bagai ikan asin, berhimpit-himpitan. Ruas jalan yang satu diperbaiki, ruas jalan yang lain pula yang hancur. Sampai kapan begini? Bertahun-tahun kau kutinggalkan Kutacaneku, aku berharap akan ada perubahan. Kecewanya hatiku. Pedih tak terkira. Negeri orang terus berpacu dengan pembangunan, sedangkan Aceh Tenggara, untuk mencapai ibu kotanya saja teramat sulit.

Tahun 2000. Jalan dari Medan hingga ke Kabanjahe telah diaspal beton, lebar dan mulus. Namun, dari Kabanjahe ke Tigabinanga dan seterusnya tidak banyak perubahan. Hanya perbaikan tambal sulam saja. Berdebu bila kemarau, bagaikan sungai bila hujan.


Hancur di Karo, Alas Menderita: Nasib Daerah di Perbatasan

Mungkin para pejabat di Medan berpikir, buat apa kita aspal jalan ke Kutacane. Mereka bukan bagian dari kita. Mereka orang Aceh. Tidak ada manfaatnya melobi Jakarta agar menurunkan dana guna perbaikan ruas jalan itu. Sia-sia. Kita tak punya urusan dengan mereka. Kalau jalan ke sana mulus, jangan-jangan Kutacane dengan Taman Nasional Gunung Leusernya (salah satu paru-paru dunia) akan menyaingi Brastagi dalam bidang pariwisata. Apalagi kalau jalan dari Medan mulus sampai ke kota sejuk Blangkejeren, jangan mimpi kalian!

Bisakah kita berharap dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi kita? Jangan banyak berharap. Banda Aceh beralasan ruas jalan itu sebagai tanggung jawab Sumatra Utara. Padahal sejak tahun 2005 ruas jalan Medan-Kutacane berstatus sebagai jalan negara. Apa nggak bisa Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatra Utara duek pakat membicarakan hal ini? Masalah ini menjadi sangat penting mengingat jalan ini adalah satu-satunya akses utama lewat darat ke Kutacane. Serusak apa pun jalan itu, tetap saja orang Kutacane yang hendak ke Medan lewat di situ. Masak sih Gubernur nggak kepikiran tentang itu? Gubernur, gubernur... Apa ada dalam pikiran kalian bahwa Alas dan Gayo bukan bagian dari bangsa Aceh sehingga untuk peduli saja pun tidak mau.

Kami yang Sepatutnya jadi Gerilyawan

Tahun 2002. Bus Pelangi meninggalkan Jalan Gajah Mada, Medan menuju Banda Aceh. Ah, betapa nyamannya. Bus mewah, jalan raya pun mulus. Tiba di Langkat Tamiang, sangat nyata pembangunan terus dipacu. Kota Langsa diterangi cahaya terang-benderang. Kota-kota di sepanjang pantai timur Aceh itu hidup, meskipun masih dalam situasi konflik. Terlintas dalam pikiran: “Jika begini keadaannya, orang Alas dan Gayo Lues lebih patut lagi angkat senjata melawan ketidakadilan dibandingkan saudara-saudara kami dari Pidie. Lihatlah Pidie, seratus kali lebih maju dari Aceh Tenggara”.

Dari tahun ke tahun tidak ada solusi bagi persoalan ini. Bisa saja status jalan telah menjadi jalan negara, tetapi apakah ada bedanya? Lihatlah, sangat nyata ketidakadilan ini. Tidak layakkah kami merasakan kemajuan? Bukankah nenek moyang kami juga turut memperjuangkan kemerdekaan ini? Masih ingatkah kalian sejarah bagaimana para pejuang Aceh dikirim ke Front Medan Area? Dengan bersusah payah pejuang-pejuang Aceh dari Gayo dan Alas melintasi belantara menuju front Medan Area. Dengan Barisan Geurilla orang-orang Gayo dan Alas mengorbankan jiwanya di medan perang. Beratus-ratus dari mereka tewas di Sukarame dan Kandibata di dekat Kabanjahe. Semua itu demi mempertahankan Medan.

Pada perjuangan kemerdekaan tahukah kalian dari mana stok beras bagi para pejuang didatangkan? Dari Tanah Alas, Saudaraku. Para petani, termasuk para petani dari etnis Batak-Toba yang telah menjadi warga Tanah Alas, menjadi sumber logistik di seluruh medan pertempuran kala itu.


Kepedihan Kami

Tahun 2007. Kerusakan jalan Kutacane-Kabanjahe makin menjadi-jadi. seolah-olah wilayah itu sebuah negeri tak bertuan. Jakarta, Medan serta Banda Aceh tidak peduli. Hancur kalian sana! Mampus ko situ!

Jalan udah kayak kolam. Ditutupi pula dengan tongkol jagung. Anak-anak pun tahu, kagak bakalan ada gunanya.

Di mana saja jalan yang hancur itu? Sekali-sekali pergilah ke sana, Amang! Biar kau tau.
Pada dasarnya semua tak layak, tapi ada beberapa titik yang ... ( ndak mu nae kite sungkunken pe, da). Bandar Purba, Lau Kesumpat, Lau Mulgap, Lau Solu, Buluh Pancur, Lau Baleng, Kinangkong, Lau Peradep, Lau Peranggunen, Kuta Buluh, Lau Riman, Lau Lisang, Tiga Binanga, Benjire, dan Kandibata.

Kune kite bahan? Memang kin sudah begini. Jalan rusak itu kan di huta halak, pasrah saja kita. Aku pening lihat jalan ni, Aman Uwin, dari kekanak aku sampai udah punya cucu masih kek gini kuengon jalan ni, da. Kita manalah tau kan, sama siapa kita ngadu. Pemimpin kita pun di sini ndak berdaya kulihat, padahal tiap harinya orang tu lewat sini kalok ke Medan. Seingat Nande, Bupati Karo apa pernah dia ke Lau Pakam ini?

Kawasan di dekat Kinangkong

Salah satu sudut Kota Kutacane saat ini

Bagi para pejabat dan orang-orang berada, sekarang tidaklah sulit untuk mencapai Kutacane. Dengan pesawat kecil setengah jam saja dari Medan dan satu jam saja dari Banda Aceh telah sampai di Bandara Alas Leuser. Ke depan, insya Allah Senubung Airstrip Blangkejeren juga selesai dibangun. Bagi rakyat kecil? Tetap saja lewat jalan hancur itu (mungkin lebih bagus lagi jalan di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza). Adakah kalian rasakan penderitaan kami, Pak Wa?

Andaikan jalan poros tengah Aceh yang melintasi Bireuen-Takengon-Blangkejeren-Kutacane-Kabanjahe-Medan bisa setara dengan jalan di pantai timur Aceh pastilah kemajuan ekonomi lebih mudah dicapai oleh rakyat di pedalaman tersebut.

Abdullah Puteh pernah ngomong di Badar, Aceh Tenggara, bahwa akses jalan ke wilayah pedalaman Aceh akan segera mulus. Namun, seperti kebanyakan pejabat, ternyata ucapan beliau pun cuma tong kosong.

Siapa lagi yang akan kita percaya? Presiden RI, Gubernur Aceh, Gubernur Sumatra Utara, Bupati Karo, Bupati Aceh Tenggara? Kepada siapa harapan digantungkan? Tidak ada lain, nasib kita tergantung pada kita sendiri. Bila suatu hari nanti ada pemilu lagi, jangan kita salah pilih (lagi). Maunya janganlah kayak keledai, iya, kan?

Mohon maaf kepada siapa saja yang tidak merasa senang atas tulisan ini. Kita semua manusia yang punya kelemahan.

Sepakat segenep, sebudi seperasat!




1 komentar:

  1. Horass..... Setelah saya membaca tulisan ini, jujur hati saya sedih, pedih karena apa yg di tuangkan dalam tulisan ini 100 % benar, karena saya sndiri orang Batak Toba yang lahir dan sekolah sampai tingkat SMP di Kutacane tepatnya di Lawe Desky. Tiga puluh tahun saya meninggalkan daerah itu dan hingga sekarang kondisinya seperti itu. Saya merasa terharu setelah membaca tulisan tadi karena saya sendiri bekerja di Kementerian Pek. Umum di Intim (Sulawesi Tengah) hingga saat ini. Di Intim ini yang namanya jalan nasional atau jalan negara, tidak ada lagi kondisinya seperti yg di tulis di atas, harapan saya dan mungkin pada umumnya masyarakat Aceh Tenggara, semoga para pejabat d daerah mulai dari Bupati sampai Gubernur bisa lebih peduli dengan permasalahan ini, jangan pada saat kampanye banyak mengumbar janji-janji. Walaupun saya sekarang tdk lagi berdomisili di kuta cane, akan tetapi saya tetap merasa prihatin dengan kondisi ini karena saya merupakan bagian dari masyarakat Aceh Tenggara.
    Horass..............

    Mangara Panjaitan

    BalasHapus